Wednesday, October 03, 2007

Gempa Bengkulu: Sekedar Bencana Biasa?

Sehari sebelum Ramadhan, gempa dengan kekuatan 7,9 SR menggoyang bagian barat Pulau Sumatra. Tidak sedahsyat ketika terjadi tsunami di Aceh memang, tapi bencana tetaplah bencana. Apalagi setelah gempa utama, terjadi lagi berpuluh-puluh kali gempa susulan dengan kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan kabar terakhir, gempa berkekuatan 6,4 SR terjadi pada hari Selasa sekitar pukul 10.45 WIB, dua hari setelah saya kembali dari Bengkulu. Dua minggu berada di lokasi bencana membuat saya cukup mengerti kondisi masyarakat pasca bencana dan seberapa besar kerusakan fisik akibat gempa.

Untuk masyarakat Bengkulu, gempa memang sudah seperti teman. Hampir setiap bulan terjadi gempa meskipun dengan skala kecil. Gempa di tahun 2007 ini merupakan gempa kedua dengan kekuatan besar yang terjadi di Bengkulu. Jika gempa pertama pada tahun 2000 menghancurkan daerah Bengkulu bagian selatan, maka kali ini di bagian utara.

Saya berada di Bengkulu sejak tanggal 15 hingga 30 September 2007. Selama itu saya memang tidak tinggal langsung di lokasi bencana, tapi ditugaskan di posko pusat, bergabung dengan Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Akan tetapi, hampir setiap hari, saya dan kawan-kawan Tim Advance Korps Relawan Salman (KORSA) ITB mobile ke berbagai lokasi. Ada tiga lokasi bencana yang intensif saya kunjungi tiap hari, yaitu Desa Dusun Raja di Kecamatan Lais, Desa Serangai di Kecamatan Batik Nau, dan Desa D-V di Kecamatan Ketahun. Tugas utama saya selaku Tim Advance adalah mempersiapkan ketiga lokasi tersebut untuk program yang dibawa Tim Recovery. Adapun tugas tim ini adalah menjalankan sekolah darurat di SD terkait. Ketiga lokasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda sehingga diperlukan pembahasan terpisah.

Desa Dusun Raja, Lais

Kecamatan Lais terletak sekitar 40 km di sebelah utara Kota Bengkulu dan merupakan salah satu pusat gempa kali ini. Penduduk daerah ini adalah masyarakat Rejang yang merupakan penduduk asli. Pemukiman mereka berada sepanjang jalan utama jalur barat sehingga kita dapat melihat langsung kerusakan fisik akibat gempa. Sebagai pusat gempa, kerusakan yang dialami daerah ini termasuk parah. Tapi berbeda dengan gempa di Yogya yang meratakan pemukiman di sana, kerusakan akibat gempa kali ini tidak total. Sebagian besar bangunan memang hancur, tapi masih ada cukup banyak rumah yang berdiri tegak meski tidak layak dihuni. Dan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, masyarakat lebih memilih tinggal di tenda.

Desa Dusun Raja terletak 3 km dari pusat Kecamatan Lais. Tujuan kami adalah SD Negeri 04 Lais yang berada di sana. Meskipun hanya berada beberapa meter dari laut, letak sekolah ini yang tinggi cukup aman dari ancaman tsunami. Dari jalan, bangunan sekolah ini terlihat masih kuat, tapi gempa menghancurkan seluruh dinding bagian dalam, dinding samping, dan merobohkan atap.

Desa Serangai, Batik Nau

Sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil dari Desa Dusun Raja, kita akan tiba di Desa Serangai. Jalan menuju desa ini berkelok-kelok dan melalui perkebunan kelapa sawit. Menjelang tiba di Desa Serangai, beberapa ruas jalan patah dan retak sehingga harus lebih berhati-hati. Wilayah Desa Serangai mencakup daerah pantai yang berada dekat dengan jalan utama dan daerah perbukitan yang merupakan kebun kelapa sawit. Daerah pantai di Desa Serangai ini merupakan satu-satunya daerah yang terkena tsunami kecil, sehingga kerusakannya lebih parah daripada daerah lain. Bahkan ada satu rumah yang hilang terbawa arus. Tidak ada korban jiwa akibat tsunami karena masyarakat dapat menyelamatkan diri dengan cepat ke daerah bukit. Penduduk di desa ini terdiri dari dua golongan, Suku Rejang dan Suku Jawa yang merupakan transmigran.

SD Negeri 06 Batik Nau yang menjadi tujuan kami terletak di desa ini. Lokasinya yang sangat dekat dengan pantai sangat rawan dari ancaman tsunami. Bangunannya hanya terdiri dari tiga ruang kelas, sehingga pada hari biasa, ruangan ini harus disekat agar cukup untuk enam kelas. Tapi hal itu tidak terlalu bermasalah karena jumlah muridnya yang memang sedikit. Yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan anak mereka, serta kurangnya tenaga pendidik.

Desa D-V, Ketahun

D-V merupakan nama untuk daerah transmigrasi di wilayah ini. Letaknya sekitar satu jam perjalanan dengan mobil, berada di pelosok hutan. Jalan di desa ini masih berupa bebatuan sehingga akan memperlambat laju kendaraan. Penduduk di desa ini 100% pendatang, berasal dari Wonogiri, sehingga akan terasa lebih dekat bagi kita yang berasal dari Pulau Jawa. Kerusakan fisik di daerah ini tidak terlalu parah dibandingkan daerah lain, tapi karena letaknya yang berada di pelosok, desa ini jarang didatangi relawan maupun pers. Sedangkan secara psikis, kondisi masyarakat cukup parah, beberapa orang mengalami trauma, terutama anak-anak. Dan meskipun bantuan untuk daerah ini kurang, mereka masih mampu untuk bangkit kembali dengan kekuatan sendiri.

Yang perlu menjadi sorotan adalah kondisi SD Negeri 011 Ketahun yang tidak jauh berbeda dengan sekolah lain di lokasi gempa. Lambatnya bantuan tenda dan terpal untuk sekolah ini memaksa para siswa untuk belajar di bawah terik matahari selama beberapa hari. Daerah ini memang lebih panas dan gersang daripada Dusun Raja, sehingga tim yang bertugas di sini harus lebih bersabar.

Sekedar Opini Pasca Bencana

Setelah membaca tulisan di atas, kita mungkin berpikir, “Apanya yang luar biasa dari tulisan ini? Hanya berupa catatan perjalanan yang mendeskripsikan tiap daerah yang didatangi.” Yah, memang belum ada yang istimewa, karena saya belum menuliskannya. Sebelum itu, saya akan sedikit menguraikan beberapa fakta mengenai tsunami Aceh.

- Gempa yang mengguncang Aceh berkekuatan 9,2 SR

- Tsunami yang meluluhlantakkan Aceh adalah bencana alam terdahsyat yang pernah dialami manusia dengan ketinggian mencapai puluhan meter

- Korban meninggal mencapai lebih dari 300.000 jiwa

- Kerugian materil luar biasa besar

Dari data di atas, tsunami Aceh masih menyisakan berbagai cerita ajaib. Tapi keajaiban yang selalu membuat saya takjub adalah kenyataan bahwa masjid masih berdiri tegak di tengah-tengah bangunan yang hancur dan lautan mayat manusia. Kita seolah diingatkan kembali akan kebesaran-Nya setelah begitu lama berkubang dalam dosa. Termasuk saya yang tidak terjun secara langsung ke Aceh.

Kepulangan saya dari Bengkulu menyisakan tanda tanya besar. Apakah gempa kali ini sekedar bencana biasa? Sepanjang perjalanan di lokasi bencana, saya melihat masjid-masjid yang hancur. Masjid Al-Akbar di Pasar Lais hanya menyisakan 2 shaf, Masjid di Desa Dusun Raja menyisakan teras samping, dan kerusakan di masjid lain bervariasi dari rusak ringan sampai rusak total. Jika di Aceh kita melihat masjid yang masih berdiri kokoh di tengah kehancuran, di Bengkulu sebaliknya. Masjidlah yang hancur, sementara rumah di sekitarnya masih berdiri. Apakah ini masih sekedar bencana biasa? Apakah kita masih akan menyebutnya sebagai cobaan atau peringatan? Bagaimana jika Allah telah murka? Murka karena kita sudah tidak lagi memakmurkan rumah-Nya. Murka karena kelalaian-kelalaian kita. Atau bahkan murka karena tanpa sadar kita telah menduakan-Nya. Hanya Dia yang tahu. Yang perlu kita ketahui dan lakukan adalah berdoa dan mohon ampun pada-Nya.

Friday, August 10, 2007

Are YOU Ready to DIE?

Kematian adalah suatu hal yang pasti. Yang kita tidak tahu hanyalah kapan, di mana, dan dalam kondisi apa kita mati. Dan saya yakin, semua orang dalam suatu situasi normal tidak akan pernah memikirkan hal ini. Kita akan berfikir bahwa semua akan baik-baik saja, tanpa sadar bahwa bayang-bayang kematian selalu hadir dalam setiap desah nafas.

Sang Malaikat Maut mungkin ada disini, saat ini, saat kita sedang membaca tulisan ini. Who knows? Bagaimanapun kita tidak bisa memilih kapan dan di mana kita mati, tapi kita masih punya kesempatan untuk memilih 'saat sedang apa' kita mati. Apakah saat sedang sholat, ngaji, atau saat di tempat maksiat? Kita masih bisa mempersiapkan kondisi terbaik untuk kematian kita.

Beberapa orang, termasuk saya, pernah 'hidup kembali' dari suatu kondisi di mana seharusnya kita mati. Mungkin saat kecelakaan, atau sembuh dari sakit. Setiap kali mengalami hal itu, kita mungkin bersyukur bisa lolos dari kematian, karena kita memang belum siap. Untuk sesaat kita merenung, bertekad untuk memperbaiki diri. Tidak berapa lama, kita kembali pada kehidupan yang mungkin belum bisa dikatakan baik.

Ada satu hal yang selalu saya pikirkan saat saya selamat dari kecelakaan, bahwa "Masih banyak hal yang harus saya lakukan dalam hidup, dan Allah, masih memberi saya kesempatan untuk menunaikannya".

Ok. Maybe it's not the first time you read this stuff, but I hope, you can live your life better. So, are YOU ready to DIE?

Monday, August 06, 2007

From BG to Gede (eps. 01): First Step


“A great journey begins with one small step” (Chinese proverb)

Medio Juni 2007

Perjalanan ini diawali dari perbincangan beberapa orang mahasiswa tingkat akhir yang sudah mulai muak dengan segala aktivitasnya yang menjemukan. (Iya lah, gimana ga’ muak coba? Sehari-harinya cuma makan, minum, nonton, tidur, trus kalo inget, mandi). Katakanlah nama mereka Hans (team leader), Day (tampangnya mirip Yasser al-Qahtani tapi kurus), Agus (harusnya ni orang ikut Kampus Extravaganza), dan sefs (ini gue). Dari obrolan ga penting yang biasa terjadi di antara mereka, tercetuslah satu ide brilian. Naek gunung. Targetnya Gede-Pangrango, berangkat akhir Juli. Brilian ga sih? Buat mereka yang hidupnya gitu-gitu aja, ide ini emang brilian banget. Bayangin aja, waktu itu mereka ga tau kalo Gede sama Pangrango tuh dua puncak yang beda. Amatir.

Dibuatlah pengumuman di depan asrama BG (red. Bumi Ganesha) tercinta, yang udah mau rubuh karena ditelantarin rektorat. Alhasil, ikutlah beberapa orang lagi. Maehan (orangnya ga segarang namanya ko), Feby (ini cowo lho), Zamzam (aktivis kampus), Dani (anak muda). Malem briefing sebentar, ngumpulin duit, besoknya sewa peralatan. Masalah survey plus administrasi ke sana udah diurus Hans + sefs. Semalem sebelum berangkat, tiba-tiba nambah lagi dua orang. Bagus (kecil-kecil cabe rawit) ama Om Ruri (dia udah tua sih, Juli ini lulus). So, we are ready to go, aren’t we?


Jum’at, 29 Juni 2007

Tim pendahulu (Hans + Feby) berangkat pagi buat ngurus administrasi akhir. Yang lain rencananya berangkat langsung ba’da Sholat Jum’at. Tapi tetep, rencana tinggal rencana. Ngaret pasti. Mereka masih sibuk ama urusan masing-masing. Terutama si Om. Baru nyampe asrama jam tiga, itupun belum siap. Ujung-ujungnya berangkat ba’da Ashar. It’s so Indonesia. Haha. Now, we are really-really ready to go!

Dengan angkot ungu yang mereka carter, lanjut naek bis Bandung-Bogor, plus angkot jurusan Cibodas, tibalah mereka di awal perjalanan. Taman Raya Cibodas. Abis makan malem plus sholat Maghrib+Isya, tim pendahulu langsung ngajak ke camp site di Lembah Mandalawangi. Lagi banyak juga yang camping, termasuk anak-anak Pramuka dari Jakarta. Pelantikan kayanya. Oke, tim dibagi dua buat diriin tenda. Yang satu lancar, yang satu lagi lama banget. Padahal tenda dom doang.

Biar besoknya kuat, tidurlah mereka. Ada yang tugas jaga, gantian. Kalo kayak gini, paling enak jaga pertama atawa terakhir, tidurnya ga kepotong. Dan bener aja, yang jaga tengah-tengah ga tidur lagi tuh. Sambil jaga, si Day masak nasi buat sarapan. Di asrama dia emang yang paling sering masak nasi, tapi pake rice cooker. Sekarang pake kompor... gagal deh. Bener-bener amatir. Feby langsung sumpah dia bakalan masak buat sesi selanjutnya. Sefs juga.

Tapi tu nasi akhirnya dimakan juga kok. Meski makannya harus dengan perjuangan yang berat dan mengorbankan tetesan air mata. Hiks...

(bersambung deh, kakak...)

Next: One Step Closer

Sunday, July 29, 2007

Sebuah Awal untuk Kisah yang Panjang

Untuk sebagian besar orang, memulai adalah suatu hal yang sangat sulit. For me too. Termasuk untuk mulai nulis. Yaa... persis sama kaya qta mau bilang "Aku suka kamu" sama orang yang bener-bener qta sayang. Hehe, analoginya ngaco yeh! Anyway, itu cuma buat gambarin betapa susahnya doang.

Tulisan pertama ini saya kasih judul kayak di atas (kebaca kan?) biar saya ga cuma nulis satu-dua kali aja. Setidaknya, jadi semangat biar saya nulis terus. Bahasa kerennya mah istiqomah. Ga peduli ada yang mau baca tu tulisan ato nggak. Yang penting puas deh.

Oya, meski di judul saya tulis 'kisah', bukan berarti di sini cuma cerita doank. Moga bisa variasi deh.